Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

5 Kisah Guru Mengajar di Pedalaman, Gaji Habis untuk Beli Air hingga Bertahan di Desa Tanpa Daratan

Kompas.com - 25/11/2020, 11:33 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Hari ini, Rabu (25/11/2020), Indonesia sedang memperingati Hari Guru Nasional.

Peran guru dalam perjalanan sejarah Bangsa Indonesia sangat besar dan menentuka masa depan. Namun perjuangan para guru di pedalaman untuk mengajar tak pernah berhenti.

Di Kabupaten Mappi, Papua, seorang Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) mengaku gajinya habis untuk membeli air dan minyak tanah.

Mereka mengambil gajinya setiap dua bulan sekali karena harus menyewa perahu kecil untuk mengambil gaji di Distrik Haju.

Sementara di Kutai Kartanegara, seorang guru bertahan mengajar di sebuah desa tanpa daratan yakni Desa Muara Enggelam, Kecamatan Muara Wis.
'
Saat mengajar, sang guru hampir saja menyerah karena 9 bulan tak digaji. Namun ia bertahan untuk mengajar para murid hingga dinyatakan lulus tes CPNS.

Berikut 5 kisah para guru yang mengajar di pedalaman:

1. Di pedalaman Papua, gaji habis untuk beli air

Ilustrasi guru, Hari Guru NasionalShutterstock Ilustrasi guru, Hari Guru Nasional
Diana Cristian Da Costa Ati (23), seorang Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) yang merupakan program Bupati Mappi menceritakan pengalamannya mengajar di pedalaman Papua.

Sebagai guru di SD Inpres Kaibusene, Distrik Haju, Kabupaten Mappi, Diana menerima gaji Rp 4 juta pe bulan se

Namun nilai tersebut harus dipotong pajak pendapatan 5 persen. Selain itu untuk mengambil gaji, mereka harus menyewa perahu kecil utnuk pergi ke Distrik Haju.

Untuk mengakali pengeluaran, mereka mengambil gaji ke Bank Papua setiap dua bulan sekali. Selain itu gajinya juga cepat habis untuk membeli air minum, minyak tanah, dan juga BBM.

"Harga minyak tanah Rp 50 ribu per 5 liter, bensinnya 5 liter Rp 150 ribu," ucapnya.

"Biasa kita beli air mineral gelas perkartonnya Rp 100 ribu, biasa kita beli 10 dus untuk bertiga selama satu bulan. Kalau pas jalan kaki itu kita bawa satu-satu karton, lalu kita sewa anak murid dua orang untuk bantu kita," kata Diana.

Kondisi Distrik Haju yang merupakan wilayah rawa, tidak memungkinkan untuk mereka konsumsi air dari lokasi tersebut.

"Kita di sana borosnya di air minum, karena kondisi tempat tinggal kita kaya Asmat (rawa-rawa), jadi airnya tidak bisa untuk minum, jadi kita sangat bergantung sekali dengan air mineral," tutur Diana.

Bahkan mereka harus berjalan kaki 7 kilometer untuk mencari bahan makanan jika sungai surut dan perahu tak bisa digunakan.

"Sempat kali kering itu kita sempat mau mati kelaparan karena tidak bisa ke distrik. Jadi kita jalan kaki 7 kilometer lebih untuk bisa sampai ke distrik cari bahan makanan," ungkapnya.

Baca juga: Kisah Guru di Pedalaman Papua, Gaji Habis Beli Air dan Minyak Tanah

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com