KOMPAS.com - Menyusuri jalan setapak di tengah lebatnya hutan Kalimantan Timur telah dijalani Berta Bua'dera (48), guru honorer asal Kota Samarinda, selama lebih kurang 11 tahun.
Berta merupakan guru honorer di SDN Filial 004 di Kampung Berambai, Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda, Kalimantan Timur.
Dari rumahnya, sekolah tersebut jaraknya lebih kurang 5 kilometer.
Beruntung, Kompas.com diberi kesempatan untuk menemani Berta menyusuri jalan setapak yang setiap hari dia lalui.
Baca juga: Fakta Pria di Boyolali Bawa Jenazah Ibunya Pakai Bronjong, Jadi Viral dan Penjelasan Polisi
Sebegai infirmasi, lokasi sekolah tempat Berta mengajar berada di pinggiran Samarinda, bersebelahan dengan Desa Bangun Rejo, Kecamatan Tenggarong Sebrang, Kutai Kertanegara. Kawasan ini sebagian besar masih hutan.
“Tiap hari saya begini, jalan kaki lima kilo menuju sekolah bawa bekal,” ungkap Berta kepada Kompas.com saat ditemui di sekolah, Rabu (29/10/2020) sore.
Baca juga: Kronologi Ulah Rasial Guru SMA di Jaktim, Tiba-tiba Ajak Murid Tak Pilih Ketua OSIS Non-Muslim
Sembari menyusuri jalan setapak, perempuan kelahiran Tanah Toraja, Sulawesi Selatan tersebut menuturkan, kadang dirinya bertemu ular kobra, monyet, bahkan orangutan.
“Monyet paling sering ketemu. Orangutan dan ular jarang-jarang, tapi ular di sini rata-rata berbahaya, ular kobra. Tapi syukur sejauh ini saya aman saja,” harap Berta.
Berta mulai mengajar pada 2009. Saat itu, dirinya ditemani anaknya, Emanuel, yang belajar di sekolah tersebut.
Lalu, setelah anaknya lulus, Berta harus berjalan kaki sendirian.
Saat ini, sang anak sudah belajar di bangku SMK dan tinggal bersama adik Berta di Kota Samarinda.
Baca juga: Kadis PPPA: Kasus Kekerasan terhadap Anak di Kalimantan Timur Cenderung Menurun
Dari pengamatan Kompas.com, jalan setapak yang dilalui Berta tak mungkin dilalui kendaraan.
Menurut Berta, jalan itu awalnya dilalui orang-orang saat berkebun.
Sementara itu, dari sekolah, Kompas.com diajak Berta berjalan ke arah utara memasuki kawasan hutan. Medan yang ditemui cukup sulit.
Setelah melewati hutan, tampak beberapa rumah kayu, tetapi berjarak. Rumah-rumah itu, kata Berta, adalah milik petani yang mengurusi kebun kemiri.
Baca juga: Kisah Guru Honorer di Daerah Terpencil, Jalan 10 Km Lewat Jembatan Bambu Demi Mengajar
Setelah melewati kebun, kami memasuki tanah lapang. Kanan kiri jalan hanya terlihat rerumputan dan pepohonan.
Suasana sepi, hanya terdengar suara burung dan nyanyian hutan. Sesekali kami menanjak, menuruni bukit dan melintasi bebatuan.
“Kalau tidak hati-hati bisa jatuh,” kata Berta dan mengingatkan saat turun hujan, daerah itu sangat licin.
Baca juga: Kisah Guru Honorer di Samarinda, 11 Tahun Jalan Kaki Susuri Hutan demi Mengajar